Latar Belakang.
Peradaban sungai Indus
termasuk peradaban yang sangat tersohor pada masanya. Peradaban sungai Indus
banyak menciptakan gaya gaya baru dalam bidang tertentu, di kebudayaan mereka
sudah mempolakan secara baru dan mempunyai gaya khas tersendiri.
Masyarakat
peradaban sungai Indus juga bisa dikatakan orang orang yang cerdas, ini
berdasarkan fakta temuan yang terdapat di sana. Mereka sudah mulai
mengembangkan seni, dan berbagai macam kerajinan tangan yang tercipta dari
peradaban ini. Sekilas kita bayangkan akan masalalu, mungkin peradaban ini
tidak kalah menarik dengan kemodrenan gaya zaman sekarang. Peradaban ini
terkuak kembali setelah penemuan orang orang arkeologis di mohenjodaro-harrapa
dari sinilah mulai diteliti dan difokuskan kembali untuk mengetahui kebesaran
peradaban yang berada di lembah sungai Indus tersebut.
Peradaban
Lembah Sungai Indus
Peradaban
Lembah Sungai Indus berada sepanjang Sungai Indus di Pakistan sekarang ini.
Puing Mohenjo-daro difoto di atas
merupakan pusat dari masyarakat kuno ini.
Peradaban Lembah Sungai Indus, 2800 SM–1800 SM, merupakan sebuah peradaban kuno yang
hidup sepanjang Sungai
Indus dan sungai Ghaggar-Hakra yang sekarang
merupakan wilayah Pakistan dan India barat.
Peradaban ini sering juga disebut sebagai Peradaban Harappan Lembah Indus, karena kota penggalian pertamanya
disebut Harappa, atau juga Peradaban Indus Sarasvati karena Sungai
Sarasvati yang mungkin kering pada akhir 1900 SM. Pemusatan
terbesar dari Lembah Indus berada di timur Indus, dekat wilayah yang dulunya
merupakan Sungai Sarasvati kuno yang pernah mengalir. [1]
Peradaban Lembah Sungai Indus- Jazirah India terletak di Asia Selatan. India juga disebut
Anak Benua Asia karena letaknya seolah-olah terpisah dari daratan Asia. Di
utara India terdapat Pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi. Pegunungan
Himalaya menjadi pemisah antara India dan daerah lain di Asia. Di bagian Barat
pegunungan Himalaya terdapat celah yang disebut Celah Khaibar. Di India
terdapat berbagai bahasa, di antaranya yang terpenting yaitu sebagai berikut.
- bahasa
Munda atau bahasa Kolari. Bahasa ini terdapat di Kashmir.
- Bahasa
Dravida, mempunyai 14 macam, seperti Tamil, Telugu, Kinare, Malayam, Gondhi,
dan Berahui.
- Bahasa
Indo-Jerman, mempunyai bahasa daerah sembilan belas macam, salah satunya
adalah bahasa Sanskerta dan Prakreta.
- Bahasa
Hindustani. Bahasa ini muncul di Delhi dan merupakan percampuran antara
bahasa Arab, Parsi, dan Sanskerta. Bahasa ini disebut pula bahasa Urdu.
Mempelajari
bahasa Sanskerta merupakan salah satu upaya untuk mengetahui perjalanan sejarah
bangsa Indonesia pada masa lalu. Hal ini juga ditujukan untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha pada masyarakat Indonesia, di luar
pengaruhnya pada politik, ekonomi, dan pemerintahan. William Jones berpendapat
bahwa bahasa Sanskerta merupakan bahasa yang serumpun dengan bahasa Parsi,
Germania, dan Kelt. Studi tertua tentang India, membawa kita ke India pada masa
interglasial II, yaitu sekitar 400.000 SM hingga 200.000 SM. Hal ini
berdasarkan hasil penelitian terhadap jenis bebatuan pada lapisan tanah di
kawasan India. Dari penelitian ini, terungkaplah sebuah fakta mengenai sejarah
manusia yang mendiami kawasan itu setelah melihat artefak-artefak peninggalan
purba di Lembah Indus. Para ahli lalu menyimpulkan bahwa di kawasan ini pernah
berlangsung sebuah peradaban Lembah Sungai Indus, yang terkenal dengan nama
peradaban Mohenjodaro-Harappa, yang berkembang pada 2300 SM. Melalui Celah
Khaibar, bangsa India berhubungan dengan daerah-daerah lain di sebelah
utaranya. Daerah Lembah Sungai Indus terletak di
Barat Laut
India. Sungai Indus berasal dari mata air di Tibet, mengalir melalui Pegunungan
Himalaya. Setelah menyatu dengan beberapa aliran sungai yang lain, akhirnya
bermuara ke Laut Arab. Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900 kilometer.
Apabila Anda memperhatikan Sungai Indus pada peta dewasa ini, maka sungai
tersebut mengaliri tiga wilayah yaitu Kashmir, India, dan Pakistan. Sisa
peradaban Lembah Sungai Indus ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu
Mohenjodaro dan Harappa. Penghuninya dikenal dengan suku bangsa Dravida dengan
ciri-ciri tubuh pendek, hidung pesek, rambut keriting hitam, dan kulit berwarna
hitam
Penemuan
arkeologis di Mohenjodaro-Harappa mulai terjadi ketika para pekerja sedang
memasang rel kereta api dari Karachi ke Punjab pada pertengahan abad ke-19.
Pada waktu itu, ditemukan benda-benda kuno yang sangat menarik perhatian Jenderal Cunningham, yang kemudian
diangkat sebagai Direktur Jendral Arkeologi di India. Sejak saat itu, maka
dimulailah penggalian-penggalian secara lebih intensif di daerah Mohenjodaro-
Harappa.
Situs tempat penemuan peradaban
di Harappa
1. Keadaan
sosial budaya Lembah Sungai Indus
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu semua belum terungkap.
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu semua belum terungkap.
Benda-benda
lain yang ditemukan di kawasan Mohenjodaro-Harappa adalah bermacam-macam periuk
belanga yang sudah dibuat dengan teknik tuang yang tinggi. Selain itu ditemukan
juga benda-benda yang terbuat dari porselin Tiongkok yang diduga digunakan
sebagai gelang, patung-patung kecil, dan lain-lain. Dari hasil penggalian
benda, dapat diasumsikan bahwa teknik menuang logam yang telah mereka lakukan
sudah tinggi. Mereka dapat membuat piala-piala emas. Mereka dapat membuat
piala-piala emas, perak, timah hitam, tembaga, maupun perunggu. Penduduk
Mohenjodaro-Harappa sudah mampu membuat perkakas hidup berupa benda tajam yang
dibuat dengan baik. Namun, senjata seperti tombak, ujung anak panah, ataupun
pedang, sangat rendah mutu buatannya. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk
Mohenjodaro-Harappa merupakan orang-orang yang cinta damai, atau dengan kata
lain tidak suka berperang. Pada masa ini pula, diduga masyarakat
Mohenjodaro-Harappa telah mengenal hiburan berupa tari-tarian yang diiringi
genderang. Di tempat penggalian ini juga ditemukan alat-alat permainan berupa
papan bertanda serta kepingan-kepingan lain. Masyarakat Mohenjodaro-Harappa
telah mempunyai tata kota yang sangat baik. Masyarakat pendukung kebudayaan ini
juga dikenal mempunyai sistem sanitasi yang amat baik. Mereka mempunyai tempat
pemandian umum, yang dilengkapi dengan saluran air dan tangki air di atas
perbentengan jalan-jalan utama.
2.
Perkembangan kepercayaan Lembah Sungai Indus
Masyarakat
Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini
disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya,
masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada
letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah
dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada
kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek
yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu
tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada
banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi
yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu
dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk.
Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi
binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan
lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada
materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan
adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan
seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
3. Politik
dan pemerintahan Lembah Sungai Indus
Kondisi
kehidupan perpolitikan pada masa transisi (pasca Harappa hingga masa Arya),
tampaknya mulai terganggu dengan menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan
Lembah Indus selama paruh kedua millenium II SM. Mungkin saja terjadi karena
pendukung kebudayaan Indus itu musnah atau melarikan diri agar selamat ke
tempat lain, sementara para penyerang tidak bermaksud untuk meneruskan tata
pemerintahan yang lama. Hal ini bisa terjadi karena diasumsikan tingkat
peradaban bangsa Arya yang masih dalam tahap mengembara, belum mampu
melanjutkan kepemimpinan masyarakat Indus yang relatif lebih maju, dilihat dari
dasar kualitas peninggalan kebudayaan yang mereka tinggalkan.
4. Faktor
penyebab kemunduran Lembah Sungai Indus
Beberapa
teori menyatakan bahwa jatuhnya peradaban Mohenjodaro- Harappa disebabkan
karena adanya kekeringan yang diakibatkan oleh musim kering yang amat hebat
serta lama. Atau mungkin juga disebabkan karena bencana alam berupa gempa bumi
ataupun gunung meletus, mengingat letaknya yang berada di bawah kaki gunung.
Wabah penyakit juga bisa dijadikan salah satu alasan punahnya peradaban
Mohenjodaro-Harappa. Tetapi, satu hal yang amat memungkinkan menjadi penyebab
runtuhnya peradaban Mohenjodaro-Harappa ialah adanya serangan dari luar.
Diduga, serangan ini berasal dari bangsa Arya. Mereka menyerbu, lalu
memusnahkan seluruh kebudayaan bangsa yang berbicara bahasa
Dravida ini. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan pada kitab Weda. Di dalam
kitab itu, disebutkan bahwa bangsa yang dikalahkan itu ialah Dasyu atau yang
tidak berhidung. Dugaan tersebut didasarkan atas anggapan bahwa orang-orang
yang mereka taklukkan adalah orang-orang yang tidak suka berperang. Hal ini
bisa dilihat dari teknologi persenjataan yang kurang baik, misalnya dari
kualitas ujung tombak maupun pedang mereka. Bukti-bukti yang lain adalah adanya
kumpulan tulang belulang manusia yang terdiri atas anak-anak dan wanita yang
berserakan di sebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat
pemandian umum ataupun jalanan umum. Bentuk dan sikap fisik yang menggeliat,
mengindikasikan adanya serangan, apalagi jika melihat adanya bagian tulang
leher yang terbawa ke bagian kepala, ketika kepala itu terlepas dari tubuh.
Sejak 1500 SM, peradaban Mohenjodaro-Harappa runtuh, tidak lama setelah bangsa
Arya itu memasuki wilayah India lewat Iran. Sejak saat itu, dimulailah masa
baru dalam perkembangan kebudayaan India di bagian utara.